Pedih memang kehidupan ini,
gemerlap cahaya yang membias, mengabu dilangit yang tak lagi hitam pekat.
Redup, nyala campuran bahan kimia berlomba mewarnai lalu meninggalkan kesan
yang hampa. Iya, ada kehampaan dihati ini. Entahlah, aku sangsi dengan
dentam-dentum suara dilangit ataupun orgen yang tak jauh dari tempatku berdiri.
Aku diam memandangi langit. Beberapa teman mulai bersorak saling memberi
selamat. I keep my hands. Aku merasakan kehancuran. Kehampaan. Dalam diam, aku berusaha mengeja
apa yang sebenarnya bergantung menari-nari dipikiranku. Aku ingin tau, siapa
aku ini, untuk apa aku ini. Tanpa sadar terlintas dan dengan sadar aku sangat
ingin mewujudkannya.
“Suatu saat, secepatnya, mungkin tahun depan. Aku sudah mulai
meninggalkan gemerlap dunia ini. Aku ingin sederhana, aku ingin bersahaja. Aku ingin
adil, sejak dalam pikiran.”
Setelah aku menulis kalimat
diatas, hatiku kembali bertanya.
“Gemerlap? Meninggalkan? Mampukah?”
Aku ingin mengabdi untuk bangsa
ini, aku ingin hidup dengan mereka yang penuh semangat. Yang selalu akan
menungguku. Ah, khayal ini. Maklum, baru saja nonton film Di Timur Matahari, Aku mungkin bisa meninggalkan “cita”
demi cita-cita tapi untuk meninggalkan cinta demi cita-cita. Aku tak sehebat
itu.
“Tinggalkan Ayah, Tinggalkan Ibu
Izinkan kami pergi berjuang
Dibawah kibaran sang merah putih”
Semoga salah satu cita-cita
menjadi Pengajar Muda bisa terwujud, meski butuh waktu dan butuh banyak
pengorbanan.
“Kuliah rum, kuliah lagi.”
Setinggi apapun itu dan #akumahapa saat ini, cita-cita harus
berani diucapkan. Ditanamkan dalam hati, mungkin ditulis. Karena pasti ada hati
yang juga tak henti mendoakan.
Comments
Post a Comment