Assalammualaikum
kaliaaaan yang kuingin tahu ekspresi kalian setiap baca tulisan aku gimana sih,
sekali-kali muncullah dipermukaan. Tinggalkan jejak dikolom komentar. Say hi,
siapa tau kan.... kita jodoh.
Jadi
gini.
Salah
satu keinginanku sudah terwujud!!! Yeay!
Ini
dadakan banget, unplanned but I made it.
|
Di depan Pintu Rimba Jalur pendakian Gunung Seminung |
Weekend
minggu lalu, aku dan beberapa temenku memulai perjalan menuju senja *eyaaa.
Kami menuju Danau Ranau! Never planned
before. Itu tempat apa sih. Dimana. Gak pernah pengen tau.
But, something bring me to my
childhood. Throwback.
Dalam
perjalanan aku keinget sama dua guru ngajiku dulu. Ust. Dedi dan Ust. Nanto,
dari ingetanku muncullah kerinduan-kerinduan masa gemilangku (hahaha). Kedua
Ust.ku itu saat mengajar di TPA Nurul Jannah adalah mahasiswa IAIN (sekarang
UIN) yang berasal dari Ranau.
“Hadoooh
tad rumi rindu sekali, semoga selalu dalam lindungan-Nya yah. Aamiin.”
Keinget
masa-masa dimana rajin-rajinnya ngaji, ikut lomba hafalan, cerdas cermat (aku
sok yes), ngehafalin surat-surat yang sekarang udah banyak lupa. Ah sudahlah.
Masa itu emas sekali. Rinduuuu.
Persiapan
singkat, padat, jelas dan safety.
Perjalanan
panjang dan melelahkan. Tau kan. Ku tak bisa berlama-lama di dalem bis.
Perjalanan memakan waktu 10 jam. Sampe Ranau udah sore menjelang magrib,
dianter ke lorong. (30/4/2017;19:25)
Aku
mau review buku, tapi nemu tulisan ini. Yok selesain dulu....
Kita
dianter sampe lorong dimana tempat kita akan bernaung rumahnya berdiri dengan
kokoh. Dari tempat turun, ke rumah Ibu kuncen itu sekitar 300m. Rumah panggung
yang penuh dengan tanaman didepan rumah dan tangga rumahnya. Seperti biasa di
desa seperti ini anjing menjadi peliharaan untuk menjaga rumah dan kebun.
Disambut
Ibu dengan hangat, dikenalkan singkat mengenai Gunung Seminung dan
pendahulu-pendahulu yang menjadi kuncen. Ibu juga mengenalkan spot-spot wisata
yang sebenarnya sudah didukung oleh Dinas Pariwisata. Saat itu sebenarnya aku
sudah menyelipkan satu brosur kedalam tasku untuk jadi acuan menulis, tapi
entahlah hilang dimana. Mungkin di puncak gunung. Di rumah Ibu kita diberikan
kebebasan untuk menggunakan air, listrik dan rumahnya untuk istirahat. Masak
juga, minum air kulkas juga. Kita hanya diminta uang, uang apa ya namanya.
Sukarela aja, dan saat itu kami ngasih 50K.
Malam
harinya kami lanjutkan untuk membeli bahan makanan dan makan malam diluar. Saat
membeli telur, ternyata cara menjual telurnya berbeda dengan di Palembang.
Telur di Ranau hanya dijual per rak, satu raak isinya 20 butir telur dengan
harga 30K malam itu. Telurnya tidak dijual perkilo, aku sempet bingung dan
berusaha negoisasi untuk beli sekilo tapi beneran gak bisa. Disini aku belajar
memahami perbedaan. Hehe. Beli beras, telur, sejenis kopi, gula dll. Makan
lontong sayur.
Malam dilanjutkan dengan
perbincangan mengenai kehidupan anak pecinta alam, yang katanya kalo udah jadi
anak pecinta alam. Kemana aja, dimana aja bisa hidup. Tapi, kalo kamu udah jadi
bagian pecinta alam, temen kamu gausah. Cukup kamu aja. Biar yang lain muncak
bareng kamu aja. Dengerin temen yang nyaris jadi anak PA kampus, kayakny S3
(seru-seru-serem).
Perjalanan mulai jam 8 pagi dengan
menyebrangi Danau Ranau untuk mencapai kaki Gunung Seminung. Aku dan
teman-temanku baru pertama kali kesini. Si Akbar yang sudah malang melintang
didunia pendakian, baru pertama kali ini ke Seminung. Turun dari getek yang
membawa kami, kami langsung menyapa mama Elli untuk mengetahui jalur mana yang
harus dilewati dan meminta petunjuk-petunjuk sekaligus membeli beberapa botol
air mineral. Mama Elli sendiri adalah warga rantauan dari Pulau Jawa, memilih
hidup di ujung pulau dengan segala keterbatasan. Kadang, hal-hal seperti ini
ingin aku pahami. Inginku mengerti. Jauh dari keluarga, jauh dari teman-teman,
jauh dari ribuan objek kenangan, menghabiskan waktu hanya dengan ingatan.
|
Gunung Seminung, Sumatera Selatan. 1881 mdpl.
|
|
Robi, Andre, Roby, Salsa, Rumi, Akbar. Sebelum menyebrangi Danau Ranau.
|
|
Menyebrangi Danau Ranau dengan Perahu yang biasa membawa orang untuk menyebrang.
|
Perjalanan dimulai dengan berdoa
sebelum kami memasuki kawasan kebun kopi warga yang sudah terdapat akses jalan
setapak untuk mencapai pintu rimba. Sebenarnya untuk mencapai pintu rimba bisa
ditempuh menggunakan motor, sebenarnya aku dan Salsa diizikan untuk menepuh
perjalanan dengaan menyewa ojek. Tapi, kami ingin lebih menghayati muncak
pertama kami ini. Singkatnya sampailah di pintu rimba yang kemudian 15 menit
ada tempat pemberhentian terakhir, ada pondok kecil, mushola dan rumah panggung
serta sumur dengan air yang bening penuh planton. Disini kami bertemu dengan
beberapa pendaki yang baru turun, anak-anak sma yang tadi pagi mendaki,
foto-foto dipuncak gunung lalu turun. Waw! Aku bingung, karena mereka begitu
baik-baik saja secara penampilan.
|
Bersama adik-adik warga Ranau yang sudah biasa muncak Gunung Seminung.
|
|
|
|
|
|
Cuma Rumi yang bawa sling bag ke Puncak Gunung!
|
Pendakian ini kami lakukan bersama
dengan rasa was-was. Ingat sekali semua serba cepat. Sore itu, Robi mengajak
aku dan Salsa untuk bertemu Akbar dan Andre. Membicarakan keberangkatan esok
hari sambil menyantap bakso didekat kosan Robi yang sungguh terkenal itu. Bakso
Pakde. Aku dan Akbar ini satu jurusan, tapi aku seperti tidak pernah bertemu
dengan Akbar. Kami juga sama-sama kerja praktek di PTBA Tanjung Enim. Tapi tetep
aku gak ngeh. Kalo kenal Akbar dari dulu mungkn bakalan sering jalan. Haha. Kata
Akbar, yakin yang cewek sanggup untuk muncak? Nadanya penuh ragu dan
meremehkan. I still remember it.
Keseeel. Akbar, Andre, Robi, Roby, Salsa, Rumi, Chen. Kami bertujuh. Barang bawaan
sudah di setting sedemikian rupa,
agar aku dan Salsa membawa seringan-ringannya. Sangat sulit sekali menyamai
langkah mereka yang sudah pernah mendaki, terutama Akbar dan Andre. Robi, Roby
dan Chen selalu bergantian mengekor kami agar aku dan Salsa jangan sampe berada
dibelakang sekali. Perjalanan yang dikisarkan selama 6 jam, ternyata lebih. Medan
pendakian yang terus tebing-tebing menanjak tidak ada bonus istilah anak PA.
Waktu makan siang yang terus-terus
dipending karena belum menemukan tempat yang pas. Akhirnya kami makan siang di
jalur pendakian dengan nasi putih dan telur rebus. Karena mereka menyangka
ybekal yang dibawa adalh nasi goreng yang nikmat, kekecewaan tidak bisa
ditepis. Wkwkwk. Jadi untuk merasakan nikmatnya makan, kami memasak ar untuk
menyeduh 3 cup pop mie. What a life.
|
Lokasi makan siang, dijalan setapak yang menanjak.
|
|
Roby dan makanannya!
|
|
Ditengah belantara, kami bersama.
|
|
Robi repacking, setelah makan siang. Ready for nanjak-nanjak!
|
Perjalanan dilanjutkan, solat
ketinggalan. Selama perjalanan yang mulai melelahkan dan sepertinya tidak ada
yang bisa meringankan kecuali Allah. Aku berfikir. Rum, ini yang kamu mau? Are
you enjoyed it? Rum, ini kan cita-cita kamu? Ini kan yang kamu pengen. Selama itu
aku selalu mikir, kalo diajak mendaki lagi. Aku harus nolak atau gimana. Tapi,
selelahnya waktu itu, aku sugesti diri untuk menikmati dan gak nyesel. I have
no regret!!!!! I love my choice. Tapi, karena rest yang selalu gak bisa semau
kita dan selalu aja kurang. Nah, di jam-jam akhir pendakian yang sepertinya
lamaaaa sekali ini. Akbar yang cukup setia selalu mengekor kami. Selalu berada
paling belakang. Akbar selalu ikutan rest jauh dibelakang kalo aku dan Salsa
tiba-tiba rest.
|
Arguing about nothing like we used to.
|
Disambut senja diatas lautan awan,
untuk mereka yang sudah beberapa kali menyaksikan ini saja merekaa masih
terkagum-kagum. Apalagi aku yang baaru pertama kali, rasanya bahagia sekali. Rasanya
alhamdulillah sekali, diberikan kesempatan dan keberanian serta semuanya untuk
sampe di Puncak Gunung Seminung ini. Kalo puncak gunung aja seperti ini, gimana
surga nanti ya? Wah bahagia. Hari itu satu hal yang kuimpikan tercapai.
|
Roby and I. |
Senja mulai sirna, angin perlahan
menusuk. Tapi kami terlalu senang untuk merasa kedinginan. Malam yang dimulai
dengan menanak nasi dengan priok. Dengan pop mie yang dimakan secup berdua. Rasanya
nasi malam itu nikmat sekali. Kerak yang ada di priok jadi idola. Perlahan persediaan
air kian berkurang, rasanya air berharga sekaliiii. Kami menghabiskan waktu sambil
bercerita dengan posisi dua tenda yang saling berhadapan. Tepat sekitar pukul
11 malam ada rombongan yang baru tiba. Kami bersyukur karena ada yang bisa
memberikan persediaan air tapi ada yang lebih disyukuri lagi oleh cowok-cowok. Mereka
bisa minta rokok. Sampe-sampe energen dibarter dengan rokok. Kenapa mereka
begitu kuat merokok, entahlah. Malam sangat kelabu hari itu, kami semua berdoa
hujan kan turun. Karena kami butuh sekali air untuk persediaan turun besok.
Subuh menjelang. Mentari terlentang.
Alhamdulillah semalam hujan :D ada air untuk melanjutkan kehidupan. Wkwk. Karena
kabut momen sunrise terlewatkan. Kami mengabadikan beberapa foto saat pagi
hari. Beberapa fotoku seperti diambil oleh amatiran yang paling amatir. Ku sebeeeelll.
Haha. Tapi alhamdulillah.
|
Our trully characters :D
|
Perjalanan turun sedikit menakutkan.
Karena sudah terekam semua jalur pendakian yang curam dan licin. Sepanjang
perjalan aku lalui dengan was-was dan jutaan rasa takut yang alhamdulillah bisa
aku taklukkan :p Salsa jauh melesat didepan, karena memang pada hakikatnya aku
sangat takut jatuh apalagi terluka. Perlahan-lahan sekali dengan bantuan Chen
aku turun dari puncak hingga sampai. Beberapa kali bertemu dengan pendaki yang
akan naik, tanpa sungkan aku menanyakan air. Berharap pocari. Hari itu air
dengan jutaan planton terasa segar dan masuk-masuk saja ketenggorokkanku. Tanpa
mual seperti biasanya. Perjalanan yang menurun dan berliku benar-benar
menyiksa. Aku hanya ingin sampai Ya Rabb. Perjalanan turun ini kami tersesat. Entahlah,
seperti takkan sampai.
Akhirnya kami sampai kembali di
Mushola dengan sumber air. Air...... kami langsung berhamburan istirahat
sejenak. Memakan sisa bekal yang ada. Mencuci muka, menggosok gigi bahkan Robi
mandi. Cowok yang suka mandi. Sejak dulu. Setelah merasa sedikit fit kami melanjutkan
perjalanan menuju rumah Mama Elly, perjalanan yang sebenarnya hanya satu jam
saat itu berhasil kami tempuh dua jam lebih. Kami kembali tersesat dengan segala
kekhawatiran dan kelelahan yang berusaha aku sembunyikan. Aku sangattttt lelah
sekali, ingin berhenti. Ingin menangis. Tapi, saat itu Chen tidak berhenti
mengajakku bicara. Ada-ada saja yang rasanya perlu kujawab dan kutanya. Ketika kamu
lelah di sekeliling orang lelah, hatimu tak berdaya. Satu-satunya harus kuat
dan kuat. Untuk hari itu, Chenditya terima kasih banyak...
Sampai dengan jalur yang berbeda
dari seharusnya. Mengekor Chen yang mulai bergerak cepat. Ada adik-adik
bermotor yang pulang sekolah, tanpa basa-basi aku minta diantarkan ke tempat
Mama Elly. Lumayan beberapa ratus meter, kakiku sudah harus menghemat rasa
sakitnya. Hujan turun sore itu. Kami gagal mandi di pemandian panas. Karena sudah
kesorean juga.
Sampai di rumah Mama Elly kami
memesan kopi dan yang pasti cowok-cowok membeli rokok. Mereka mandi di tempat
pemandian air panas yang tak jauh dari rumah Mama Elly. Tempat pemandian yang
belum komersil. Sayang hujan mengguyur deras sore itu. Aku dan Salsa hanya menjadi saksi,
tingkah lucu lima cowok yang unik dalam mengekspresikan lelah.
|
Akbar, Chen, Roby.
|
|
First picture sesampainya di Palembang, dijemput Bopak :D
|
Terima kasih Ya Allah, terima kasih
Mama dan Papa.. for your magically gen set in my dna. Terima kasih Robi, Roby,
Akbar, Chen, Andre dan Salsa. This beautiful moments always on my mind and too
ready for my children to knows about.
Keren Blog mu.
ReplyDelete