Selama seperempat detik, Mata Hari
tetap tegak. Dia tidak mati seperti yang kulihat di film-film setelah orang
ditembak. Dia tidak terjerembab ke depan atau ke belakang, dan tidak mengangkat
kedua tanggannya. Tubuhnya merosot ke tanah, kepalanya tetap terdongak, matanya
terbuka. Salah satu prajurit pingsan.
Kemudian lututnya melemas dan tubuhnya jatuh ke kanan, kedua kakinya tertekuk di bawah mantel bulunya. Dan dia tergeletak di sana, tak bergerak, dengan wajah menghadap langit.
“Mata Hari sudah mati.”
Yeay, Assalammualaikum. Senang sekali, bulan ini aku
punya banyak buku baru. Hehe, pun beberapa sudah selesai aku baca. Salah satu
yang paling menarik dan berkesan adalah buku dari Paulo Coelho, Mata Hari.
Alasan membeli buku ini, pertama, karena pernah baca biografi singkat si Margaretha Geertruida Grietje Zelle di
buku 10 Agen Rahasia Wanita Terpopuler karya Merry Magdalena. Buku yang dibeli
beberapa tahun lalu. Alasan selanjutnya karena ini buku karya Paulo Coelho, penulis
kesukaanku. Penulis yang dengan baik hati mengajakku ke Festival Film Cannes melalui bukunya The Winner Stands Alone.
Mata Hari karya Paulo Coelho |
Aku tipikal yang kalo milih buku, pertama banget
liat judulnya. Kalo menarik, aku baca sinopsis singkatnya dibagian cover belakang, kalo aku rasa bakalan
kuat setting tempatnya atau misteri campur sejarah pasti aku beli. Hehe.
Pada saat itu, namaku pasti sudah
lama terlupakan. Tetapi aku menulis bukan untuk diingat. Aku sendiri sedang
memahami situasiku.
Dalam buku Mata Hari, ceritanya ditulis dengan penuh
kehati-hatian, mengalir dan penuh misteri. Mata Hari melambangkan perempuan
yang bingung dan putus asa, sekaligus perempuan yang penuh ambisi dan
keberanian.
Mata Hari lahir dengan nama Margaretha, 7 Agustus
1876 di Belanda. Lahir dari keluarga kaya, Margaretha membeci keadaan ketika
keluarganya harus bangkrut. Usianya 16 tahun saat pertama kali harus mengalami
pelecehan seksual, oleh kepala sekolahnya sendiri. Saat itu Margaretha mulai
hidup dengan rasa takut dan bingung yang perlahan tumbuh bersamanya. Marghareta
mulai terkenal karena tariannya di sentreo Leiden.
Berharap dapat menemukan jati dirinya, Margaretha mencoba
membalas iklan dari seorang perwira yang sedang mencari istri untuk diajak
tinggal di Indonesia. Lautan asing dan eksotis pikirnya, Margaretha mengirimkan
surat serta foto terbaiknya. Hingga akhirnya pernikahan digelar dan hiduplah di
Indonesia. Kondisi ekonomi membaik dan kelas sosial Margaretha pun meningkat,
menjadi keluarga bangsawan militer terhormat. Sayangnya, Rudolf, sang suami
ternyata pemabuk dan pemarah. Margaretha menghadapi hari-hari yang hampa di
rumah, tanpa cinta yang diharapkannya. Sampai dengan suatu hari, di sebuah
pesta Margaretha menyaksikan seorang istri perwira teladan menembak mati dirinya
sendiri. Istri perwira teladan yang dihormati serta disukai banyak orang,
sebelum mematukkan pistol istri perwira berkata.
“Tubuhku boleh terus bernapas, tetapi
jiwaku sudah mati. Aku tidak bisa meninggalkan tempat ini, juga tidak bisa
membuatmu mengerti bahwa aku memerlukanmu di sisiku.”
Peristiwa itu menyadarkan Margaretha akan hidup yang
dijalaninya. Dia terkekang, jauh dari kebebasannya. Mulai saat itu, dia berani
untuk membebaskan dirinya, dengan terus mengingat kematian istri perwira.
Dengan mengancam Rudolf, Margaretha sekeluarga
kembali ke Belanda. Namun bukan itu yang dia harapkan, bertemu istri tiri
ayahnya, mendengar tanggisan bayi, jiwanya ingin bebas. Margaretha memimpikan
Paris sebagai kota tujuannya, untuk kembali menari, terkenal dan mengenakan
kemewahan. Saat itu perang mulai terjadi, Belanda adalah salah satu
negara yang netral. Demi kebebasan yang diinginkannya, Margaretha,
memperkenalkan diri sebagai Mata Hari. Dia menjual tarian-tarian yang
dipelajarinya di tanah Jawa. Mata Hari, perempuan cerdas namun malang. Mata
Hari dituduh menjadi agen rahasia atau mata-mata Jerman oleh pihak Perancis.
Perempuan dengan kebebasan dan gaya hidup yang glamor harus mendekam di
penjara. Mata Hari begitu tidak terima atas tuduhan yang buktinya sangat lemah.
Mata Hari harus mendekam, menunggu keputusan atas hukum yang berusaha dijeratkan
padanya, dalam penjara dia mengilas lagi perjalanan hidupnya. Tentang kemewahan,
kebebasan, cinta juga keberanian. Diusia 41 tahun dia harus mati ditembak oleh kepolisian
negara impiannya, dengan tuduhan yang tak terbukti sampai saat ini.
Mata Hari, kebebasan begitu mahal bukan? Karena meski
nikmat, kebebasan haruslah memiliki batas. Tapi keberanianmu telah jauh
berjalan dan hidup lebih lama dari usiamu. Novel ini cukup menarik untuk dibaca
dan diselesaikan hanya dalam beberapa kali menutupnya, untuk jeda. Mata Hari,
perempuan cerdas yang menguasai banyak bahasa, perempuan beruntung karena pada
masanya ia sempat mengelilingi banyak negara. Mata Hari, perempuan malang yang tak
percaya cinta lalu menaruh hati dengan pria yang tak tulus menginginkannya.
“Bunga mengajarkan kita bahwa tidak
ada yang abadi: keindahan mereka, bahkan juga fakta bahwa mereka akan layu,
karena masih akan memberikan benih baru. Ingatlah ini kalau kau merasakan sukacita,
kepedihan, atau kesedihan. Segala sesuatu berlalu, menjadi tua, mati dan
terlahir kembali.”
Novel ini terbit 2016 dan diterjemahkan ditahun yang
sama oleh Penerbit PT Gramedi Pustaka Utama, sudah dicetak sebanyak 3 kali
sampai dengan November 2017. 192 halaman. Selamat membaca Novelnya!
Comments
Post a Comment