Entah buku apa yang pernah aku baca atau cerita apa yang pernah aku dengar, dari dulu aku sangat ingin ke Semarang. Tidak begitu banyak bayanganku, hanya saja sangat ingin. Tibalah disaat pertama kali sampai di Bandar Udara Internasional Jenderal Ahmad Yani, bandara yang berdekatan dengan laut, saat pesawat persiapan untuk landing, aku memperhatikan dua warna kontras di lautan, pertemuan antar air laut dan air sungai. Bandara ini cukup kecil.
Disambut dengan suhu panas yang menyengat, kami langsung diajak makan siang di salah satu rumah makan yang cukup terkenal dan banyak cabangnya. Dengan menu utama ikan berkuah, aku cukup terkejut karena rasanya sangat enak, cocok untuk aku yang terbiasa makan makanan Palembang. Hari berjalan cepat, pekerjaan cukup banyak, tapi seperti itulah kiranya waktu muda enak dihabiskan... Semoga.
Setelah pekerjaan selesai, aku memilih untuk bertemu teman lama, menunda kepulangan setengah hari, dan memilih naik kereta. Tidak banyak, tujuanku hanya Lawang Sewu dan Kota Lama Semarang. Menaiki ojek online aku meluncur ke rumah temanku, lagi-lagi, Semarang begitu panas. Bermodalkan google maps kami membelah jalanan kota ini, temanku asli Rembang, hanya saja setelah menikah dia sesekali tinggal di Semarang.
Akhirnya kami sampai di depan gedung besar, dengan warna khas bangunan lama. Melipir ke samping pagar bagunan untuk memarkirkan motor. Lalu berjalan menuju pintu masuk, dan membeli tiket seharga dua puluh ribu rupiah. Ada tiga tarif yang diterapkan untuk masuk ke Lawang Sewu, pertama untuk pengunjung mancanegara, dewasa, dan anak-anak. Ternyata dulu ini adalah stasiun kereta api, Lawang. Setelah tap in karcis masuk, aku langsung terkesima dengan bangunan-bangunan yang ada di sana. Ada sekitar empat bangunan besar terpisah, membentuk persegi yang dijadikan lapangan, banyak pohon-pohon tinggi yang berumur tua.
Nederlands Indische Spoorweg Maatschappij atau yang lebih dikenal Lawang Sewu, dulunya merupakan kantor pusat perusahaan kereta api. Dibangun pada 1904-1907, dengan ciri khas pintu-pintu besar, yang memberikan kesan megah pada bangunan ini. Selain sebagai perkantoran, Lawang Sewu juga pernah difungsikan sebagai penjara, ada penjara bawah tanah di kompleks bangunan ini. Bahkan Lawang Sewu juga menjadi saksi bisu pengeksekusian banyak nyawa. Saat ini Lawang Sewu adalah salah satu Cagar Budaya Nasional, yang dikunjungi oleh banyak wisatawan, baik lokal maupun interlokal.
Tak lama kami berkeliling hujan pun turun, dengan santai kami duduk bersila, menyaksikan hujan turun sambil bercerita banyak hal, mengenang hingga mengutuk kehidupan. Kiranya itulah yang mengakrabkan kami.
Sepertinya hujan tahu, bahwa mahkluk bumi banyak yang menyukainya, dengan kemurahan hatinya, ia tak ingin usai, memberikan kesejukan dan juga limpahan air. Hujan tak sepenuhnya reda, tapi kami memutuskan untuk melanjutkan perjalanan, cuek saja, kami tetap mengenakan helm yang basah, karena mendengar serombongan laki-laki ingin menuju tempat yang sama, kami diam-diam mengendarai motor dengan pelan, mengikuti dari belakang. Lumayan ga perlu pake maps. Awalnya berjalan lancar, hingga beberapa kali saat mereka melambat dan menepi, kami seakan-akan ketahuan sekali mengikuti, sebenarnya sejak dari parkiran aku ingin bilang bahwa kami mau barengan, tapi ya malu. Akhirnya aku memutuskan untuk kembali menggunakan maps saja. Tanpa disangka, hujan kembali deras, tapi ya dua orang cuek kayak kami, bablas aja, siapa tahu di depan sana langit akan cerah, haha.
Setelah melanjutkan perjalanan dengan hati-hati, akhirnya kami menyerah, dan mulai melihat peluang tempat makan mana yang enak untuk disinggahi, sungguh rejeki dari Allah, karena menikmati setiap halnya, kami bisa mencicipi penganan yang menurutku unik dan enakkkk.
Mungkin sudah cukup lelah, temanku malah menepi di showroom mobil, eh setelah parkir motor, terlihat jajaran menu, kami kira bakso, dan akan sangat pas karena lagi hujannn. Eh kok ya bubur, khas Sukabumi lagi, bubur kayak mana lagi nih dalam hatiku, hanya ada satu yang nikmat. Bubuh Kuah Hitamnya Palembang, karena menunya hanya itu, kami pun memesan dua porsi. Begitu takjub saat makanan datang, bubur disajikan dengan sentuhan kecap asin dipinggirannya, taburan daun bawang, dan pangsit kecil-kecil garing. Sedangkan ayam, disajikan terpisah di satu piring kecil dengan tambahan irisan timun, kentang yang berwarna cokelat, potongan tahu kecil, dan fermentasi sawi hijau. Rasanya enak sekali.... Sangat enak. Porsinya cukup besar dengan harga dua puluh delapan ribu rupiah.
Setelah hujan benar-benar reda, kami melanjutkan perjalanan ke Kota Lama. Singgah sebentar mengambil oleh-oleh titipan teman kantor, Ikan Bandeng yang divakum kering, saking larisnya harus PO, sekalian membeli oleh-oleh untuk teman satu divisi, yang awalnya tak terpikir, ya tahulah ya, suka bingung mau beliin orang apa kalo orangnya ga bilang, dan kita ga tahu kesukaan orang.
Sesampainya di Kota Lama, aku baru sadar kalo deket banget dengan stasiun keretaku nanti. Haha. Kondisi Kota Lama cukup sepi. Hanya ada beberapa orang yang berjalan kaki. Kami pun berjalan kaki. Memperhatikan bangunan-bangunan tua, dari yang tak terawat hingga yang tampil rapi disulap menjadi sebuah tempat ngopi. Komplek perumahan ini benar-benar mempesonaku, tatanan yang rapi, bangunan yang kokoh, sepertinya sangat dipikirkan dengan matang.
Melihat banyak barang-barang jadul di Pasar Antik, berbincang dengan penjual yang ramaaah sekali, memberi tahu banyak hal, padahal beliau tahu kami hanya penikmat saja. Mengambil beberapa foto, berkeliling, lalu membeli sebuah baju dari UMKM Kota Semarang, baju berbahan etnik yang oke juga untuk dipake miting, wkwk.
Perjalanan kami tutup dengan makan bakso di pinggir jalan, murah saja dua belas ribu rupiah, dengan segelas kopi harga delapan ribu, ini lumayan ya, padahal kopi sachet aja. Tapi ya gapapa. Belum habisa bakso di mangkok, hujan kembali turun. Turu turuuu.
Sekitar pukul sembilan Zakiyah mengantarku kembali ke hotel, perjalanan sekitar sembilan kilo meter ini kami lalui dengan hati-hati, banyak jalanan yang mulai tergenang. Sesampainya di hotel, aku bersih-bersih, sekalian Zakiyah menunggu sang suami menjemput.
Aku pun melanjutkan perjalanan ke Stasiun Tawang, diantar seorang supir yang begitu ramah. Semarang dengan segala keramahannya, boleh banget untuk main ke sini lagi. Semoga!
Huaaa semarang, aku terakhir ke semarang sekitar 2017, udah lama bgt, dulu main ke lawang sewu sama pasar antik itu juga, seharian keliling sama tmn2 juga kulineran, next aku pengen ke candi gedong songo
ReplyDeleteDitunggu kak rilis bukunyaaa, semangatttt
ReplyDelete