Aku terbangun dari mimpi bertemu dengan seorang wanita yang membesarkanku, di rumah yang dulu kami miliki. Almh. Nenek. Perasaan sedih karena rindu itu tak terbendung, mengingat kembali semua waktu yang sempat kami habiskan bersama. Mungkin tidak banyak, apalagi aku bukan orang yang suka bercerita panjang lebar (ngobrol).
Nek Ino, begitu kami para cucu memanggilnya. Adalah Ibu kedua bagiku, yang turut serta merawat, membesarkan, dan mendidikku. Bahkan mengupayakan banyak hal untukku. Nek Ino, dalam ingatanku bukanlah ibu-ibu yang suka bergaul, beliau menghabiskan kebayakan waktunya di rumah. Bersama keluarga. Walau selama sembilan tahun aku tinggal di rumah Nenek, Nek Anang (kakekku) adalah ketua RT, Nek Ino bukan Ibu RT yang aktif sana-sini. Setiap harinya beliau hanya keluar rumah untuk belanja sayur-mayur. Menggunakan daster dan kain sarung yang dililitkan di pinggangnya. Seingatku, juga menggunakan penutup kepala sejenis turban instan.
Nek Ino, adalah Ibu dan sekaligus nenek yang merawat beberapa cucunya di rumah. Selain aku, ada dua kakak sepupuku, dan satu adik sepupu. Saat masih SD, di rumah nenek, juga ada adik bungsu mamaku, Alm. Om Rivo, yang meninggal saat aku smp kelas dua.
Rumah nenek selalu ramai, iya oleh para cucunya. Aku yang sengaja dititipkan agar dapat bersekolah di Kota Palembang menjadi beban (hehe) kedua nenekku. Pagi hari selalu ada sarapan yang tersedia, teh hangat dan gorengan yang dibeli dari tetangga selang beberapa rumah. Mungkin dulu seribu masih dapat tiga atau empat. Sarapan menjadi rutinitas sebelum berangkat sekolah.
Nek Ino juga punya banyak koleksi tanaman hias yang ditata rapi pada dua petak pekarangan di depan teras rumah. Tentu saja jenisnya mengikuti trend. Bahkan satu pohon nangka yang rimbun dan selalu berbuah sesuai musim, ada juga pohon alpukat yang tumbuh tinggi namun tak pernah berbuah, yang paling primadona adalah jambu air berwarna putih. Sungguh menyenangkan mengingat kembali semua ini.
Mungkin ada kesedihan yang tak pernah bisa usai saat Nek Ino harus kehilangan anak bungsu kesayangannya di usia muda. Tanpa sakit, pergi secara tiba-tiba. Hingga suatu hari Nek Ino jatuh terpleset dan terkena serangan stroke. Banyak hal yang sudah diusahakan agar kondisi beliau kembali pulih. Kami harus berpuas hati dengan kondisi tubuh kiri beliau tidak berfungsi, tangannya terlipat ke dalam dan satu kakinya tidak bisa diluruskan (seperti menjinjit). Alhamdulillah dengan bantuan tongkat beliau bisa berjalan. Awalnya berjalanan di luar rumah, dipapah mengelilingi area rumah. Lalu hanya di dalam rumah, dua atau tiga keliling, sambil Nek Ino melihat kembali semua harta-bendanya, piring-piringnya, segala pecah-belah, hingga lemari, semua isi rumah di lantai satu.
Saat Nek Ino terkena stroke, aku sudah tidak tinggal di rumah nenek lagi. Hingga akhirnya saat kuliah aku kembali tinggal di rumah nenek. Saat itu aku kebagian peran untuk memandikan beliau, mengajaknya berjalan, memotongkan kuku, sesekali tidur bersamanya. Tidak jarang terkadang Nek Ino sudah bangun lebih dulu, dan berjalan menuju kursi di depan TV menungguku bangun. Menggunakan daster, kaos kaki dan jilbab instant. Saat itu sedang ada tanyangan ulang Si Doel yang menjadi tontonan kesukaannya.
Hingga akhirnya tante dan om yang juga tinggal bersama kami harus pindah. Jadilah hanya ada aku, Nek Anang, Nek Ino, dan adik sepupuku. Saat ini lah aku mulai belajar masak dan megurangi waktu di luar rumah. Nenek yang awalnya akan mandi setiap sore hari, kemudian hanya mau dimandikan dua sehari sekali, selain dingin (walaupun mandi dengan air hangat), beliau tak ingin aku terlalu repot. Dulu selama dua hari sekali aku tidak boleh pulang lebih dari pukul dua siang, aku harus segera pulang. Bahkan aku juga sempat harus memask di pagi hari sebelum berangkat kuliah, karena tanteku tidak bisa mengirimkan makanan. Semua ini berjalan tidak terlalu lama, hingga akhirnya kegiatan kuliahku semakin sibuk, dan Nek Ino dipindahkan ke rumahku, dirawat oleh Mama.
Tubuh Nek Ino yang tidak berfungsi maksimal, mengharuskan beliau lebih banyak berbaring. Bahkan saat merasa lelah, beliau akan makan sambil berbaring. Hal inilah yang kemudian menyebabkan penumpukan lemak di sekitar leher beliau, yang akhirnya mengharuskan Nek Ino dirawat di Rumah Sakit. Kami bergantian menjaga Nek Ino, ya, mungkin aku hanya sesekali, karena harus kuliah dan disambung les bahasa inggris di malam harinya.
Hingga akhirnya waktu itu tiba, Nek Ino telah pergi selama-lamanya, mengakhiri semua kepayahan dan kesepiannya. Dulu saat masih di rumah, aku sering mendengarnya menangis, memanggil-manggil ibunya. Ku kira kesepian sudah begitu menjalar mengisi kehidupannya sejak kondisi tubuhnya tak lagi sempurna.
Rindu akan selalu kembali. Semoga Almh. tenang di sana. Terima kasih, Nek.
Comments
Post a Comment