Jika aku melihat diriku, ya anggap saja lima tahun yang lalu. Tidak, terlalu lama. Tiga tahun yang lalu. Bisa jadi semua sel darah dalam tubuhku sudah seratus persen berganti mengikuti siklusnya. Begitu pula lah aku. Banyak hal yang bertumbuh, menjadikan aku sepenuhnya individu baru. Harumi yang bisa jadi tidak kamu kenali lagi. Berjalannya waktu, aku bersyukur bahwa ada proses yang aku jalani untuk bisa sampai pada hari ini. Pilihan-pilihan yang tidak mudah, waktu-waktu sulit, juga kesepian yang teramat sangat perih. Aku juga tidak lupa, bagaimana Harumi yang dulu begitu penuh semangat, memulai pertemanan baru, menuju tempat jauh dengan perjalanan yang tak sebentar.
Kemudian aku, sudah tak lagi bisa mengikuti ritme-ritme yang ramai. Menghabiskan akhir pekan dengan jadwal yang padat. Menempuh jarak puluhan kilo untuk bertemu sang teman. Aku menjadi begitu akrab dengan diriku, di dalam kamar, menghabiskan waktu untuk sekadar berselancar di dunia maya. Tenggelam dalam penggalan-penggalan video pendek, yang sekadar memperlihatkan keseruan berkebun, riwehnya memasak, atau dagelan dunia politik. Aku juga sudah tidak peduli dengan blog kesayanganku ini, yang menjadi saksi banyak peristiwa hidupku. Terlalu lelah.
Aku masih suka menulis, tapi singkat, dan entah tercecer di mana-mana. Kadang sebuah cerita tersusun rapi di kepala, tapi tak menjadi kata-kata yang esok lusa masih bisa aku baca. Menguap lalu hilang, sungguh sayang. Padahal menulis yang tak ilmiah ini, tentu saja tak bisa menjadi ajang pamer dalam dunia kerjaku, adalah separuh diriku. Dalam keadaan tertentu, kebiasaanku menulis ini cukup oke jika ingin dibanding-bandingkan. Tentu saja bukan itu alasanku menulis dan berusaha untuk terus menulis. Masa bodo dengan tolok ukur manusia yang tak ada habisnya.
Sebentar lagi tiga puluh. Tidak aku sangka akhirnya akan sampai pada usia ini dan masih dengan kesendirianku. Dulu aku mengira akan menikah umur 22, terus punya anak, lalu menjadi istri dan ibu dengan segala fasilitasnya. Betapa menggelikannya pikiranku saat SMA. Tidak ada ambisi memang, seingatku dari dulu aku hanya mau melakukan hal-hal yang aku suka. Tidak ada angan-angan mencapai keberhasilan dunia. Hanya saja otakku memang bisa diadu, walau malas, aku tetap bisa berada di posisi-posisi yang lumayan oke. Ya, alhamdulillah. Tapi bukan berarti aku sudah berhasil, entah dalam definisi siapapun. Tak seorang pun yang tahu, bahkan setan.
Entah siapa gurunya, atau bagaimana kedua orang tuaku mendoakan aku. Dalam banyak ketidakpantasanku pada diriku. Aku menemukan keinginanku untuk menjalani hidup ini. Aku mulai membangun kebiasaan-kebiasaan kecil yang baik, aku mulai menata pikiranku, aku tahu apa yang aku inginkan. Bukan hal besar, tapi hal-hal kecil ini membuat hidupku lebih berarti. Tentu hal-hal baik yang mulai aku bangun, tidak serta merta menjadikan aku baik. Tapi setidaknya aku berusaha, menjadi bijak sejak dalam pikiran, begitu pula dengan perbuatan. Aku tak mencari nilai, dari siapapun. Bahkan jika Allah berkenan, aku hanya ingin diterima.
Mungkin sebentar lagi, aku akan melangkah ke kehidupan yang tak ada gambaran aslinya. Hanya ribuan kolase, yang aku kumpulkan dari jutaan manusia lainnya. Satu persatu, aku coba pahami, kemudian aku susun kembali, berharap menemukan satu rumusan yang tepat. Dengan kemalasanku, tentu saja sebagian besar tak ku cari hingga akar asal-usulnya. Tapi aku tahu yang aku mau. Aku tak ingin menjadi serba bisa. Aku ingin bertanya, walau hanya untuk segelas kopi. Aku juga tak ingin kehilangan diriku, yang begitu aku cinta, dan tak pernah meninggalkan aku. Dalam peraduan ini, aku berpasrah untuk sepenuhnya hadir, dan apapun yang terjadi di kemudian hari, aku yakin untuk tetap bisa memenangkan diriku.
Sebentar lagi tiga puluh. Seharusnya sudah banyak hal yang aku pelajari, tapi entahlah rasanya baru beberapa tahun terakhir saja aku meresapi dan mencari arti. Terus mencari. Aku melihat banyak peraduan, antara si kuat dan sang super kuat. Aku melihat banyak pertentangan antara si pintar dan si penuh pengalaman. Aku mengamati. Aku melihat arogansi yang masih saja jumawa menginjak-nginjak si tak punya arah. Aku juga mengenal yang tak pernah luput mencari tahu asal usul pendatang baru. Biar tahu bagaimana harus bersikap dengan si lulusan A, atau lulusan B. Ya, semua orang punya caranya.
Aku juga melihat kerapuhan yang terus-terusan ditutupi. Padahal bisa jadi, kerapuhan itu harus diterima dan dilepaskan. Untuk kemudian kebahagiaan lain kan datang. Aku juga melihat sebuah perjuangan, yang kesehariannya tak pernah diketahui banyak orang. Menjadi berkah bagi keluarga, begitu pula negeri ini. Barangkali, aku juga dilihat banyak orang, hidup di banyak kepala. Semoga masih ada hal-hal baik dari diri ini, apalagi sampai bermanfaat.
Sebentar lagi tiga puluh. Aku ingin terus bisa menemui diriku ini. Entah kelak aku menjadi pasangan dari seseorang, atau menjadi Ibu dari anak-anak manis. Aku ingin tetap bisa menemui diriku ini. Mencintai diriku, dan terus tumbuh. Hingga kelak aku juga bisa menjadi sumber kehidupan yang layak bagi makhluk lainnya. Terima kasih Rumi!
Comments
Post a Comment